Masih
ingatkah Anda, paham ekonomi apa yang dituduhkan dianut pasangan
SBY-Budiono, oleh lawan-lawan politiknya pada Pemilihan Presiden 2009
lalu? Jawabannya adalah neoliberal. Neolib merupakan paham yang mengacu
pada filosofi ekonomi politik akhir abad ke-20-an yang merupakan tindak lanjut dari liberalisme klasik.
Neoliberalisme lebih mengarah pada ekonomi pasar dan perdagangan
bebas sehingga kecenderungannya yang kuatlah yang akan memenangkan
persaingan. Paham ini juga meniadakan hambatan perdagangan internasional
dan investasi sehingga semua negara lebih mudah untuk memasarkan
produknya ke negara lain. Dan, sepertinya memang benar, Indonesia
sekarang berada di naungan paham ekonomi neolib.
Besarnya jumlah penduduk di Tanah Air menjadi barang dagangan yang
lalu dimanfaatkan oleh negara lain sebagai pasar produk-produk mereka.
Sayangnya, kita sekadar menjadi pasar, bukan pemasar. Jadi, kita cuma
bisa membeli barang-barang mereka di negara kita tanpa mampu memasarkan
produk ke tanah mereka secara seimbang.
Pasar Indonesia saat ini banyak dikuasai oleh penganut konsep merek
neolib, merek yang mampu mendikte pasar, sehingga konsumen takluk
hatinya. Konsumen menjadi sangat percaya kepada mereka dan bersedia
membayar lebih mahal, sehingga merek neolib tersebut bisa memperoleh
laba tinggi tanpa saingan untuk jangka waktu yang lama. Laba mereka
supernormal dan membuat mereka mudah menindas pesaing dan
mengeksploitasi pikiran konsumen, dan jarang mau melakukan investasi
sosial.
Penganut konsep merek neolib gampang kita
temukan di mal. Banyak sekali ritel merek asing yang bertengger di
lantai-lantai strategis. McDonald’s, KFC, Dunkin’ Donuts, Starbucks, dan
Pizza Hut adalah sedikit pemain global yang menguasai mal-mal di
kota-kota besar negeri ini. Di Medan mereka ada, di Surabaya juga ada
mereka, di Makassar pun begitu, apalagi di Jabodetabek. Amat disayangkan
kita tidak memiliki restoran yang bisa mengalahkan McD atau kedai yang
menaklukkan Pizza Hut.
Tak Nasionalis
Karena sifatnya neolib, peran badan usaha milik pemerintah seperti
Sarinah pun tak ubahnya pencari keuntungan yang sebesar-besarnya tanpa
memikirkan kepentingan-kepentingan lain. Sarinah yang milik pemerintah
tidak mau “membantu” menyukseskan pengusaha-pengusaha lokal yang
sebetulnya patut didorong. Apa jadinya kalau semua BUMN tidak memiliki
strategi politik demi kepentingan nasional?
Marilah kita terbang ke Filipina dan belajar sejenak di sana. Begitu
mendarat dan menjauhi bandar udara, silakan Anda cari McD. Di sana ada,
tapi tidak akan semudah di sini. Sebab, Jollibee telah berkuasa di sana.
Pada akhir tahun 1970-an, Tony Tan Caktiong, pemilik kedai es krim
kecil di kawasan menengah bawah, mendengar raksasa McDonald’s akan hadir
di Filipina. Tan khawatir tokonya akan tergeser dan segera menyadari
perlu perubahan untuk mengalahkan resto asal AS itu.
Tan pun akhirnya menerapkan teori Sun Tzu. Ia terbang ke AS untuk
mempelajari seberapa besar, seberapa kuat, dan apa saja kekuatan
musuhnya itu. Setelah beberapa minggu, ia kembali dan siap mengubah
Jollibee. Resto kecilnya itu kemudian diubah menjadi besar, punya
maskot, seragam warna-warni untuk kru, salam ceria, kentang dan ayam
goreng, serta burger dengan harga jauh lebih murah.
Saat McDonald’s masuk ke Manila tahun 1981, pasar Filipina tidak
melihatnya sebagai konsep yang aneh. Mereka sudah terbiasa dengan
Jollibee. Pada tahun 1984, Jollibee sudah masuk 500 perusahaan top
negara itu. Sebab, pada tahun 2005 saja, gerai Jollibee sudah tersebar
di sembilan negara dengan total 1.186 lokasi, termasuk 120 gerai di
Cina. Kini, barangkali jumlahnya sudah berlipat-lipat, dan McDonald’s
tetap kalah dibuatnya.
Kemudian Lotteria asal Korea Selatan. Restoran cepat saji mirip
McDonald’s yang dibuka Lotte Group pertama kali di Jepang pada September
1972 ini tersebar di berbagai sudut jalan di Korea. Restoran pertama di
Korea dibuka di Seoul pada 25 Oktober 1979. Kini, Lotteria bisa ditemui
tidak hanya di Korea dan Jepang, tapi juga di Cina, Taiwan, dan
Vietnam. Dan Lotteria ini juga mengalahkan McDonald’s di negara asalnya,
Korea Selatan.
Perang Merek
Melihat contoh-contoh resto lokal yang kemudian memenangkan
pertarungan di pasarnya sendiri, kita menjadi rindu pada pemain-pemain
lokal kita yang “kok enggak ada yang seperti Jollibee dan
Lotteria”. Apalagi sekarang pasar Jakarta sudah mulai dipadati 7-Eleven
yang dalam waktu singkat telah tumbuh belasan gerai dan sukses.
Karena itu, pemain lokal sebaiknya banyak belajar pada Jollibee dan
Lotteria. Kita percaya kedua merek itu memahami betul pasar lokal,
memiliki keunikan konsep, dan pintar menangkis serangan-serangan lawan.
Starbucks, Coca-Cola, Harley Davidson, dan McDonald’s jelas memiliki
daya tarik yang sangat besar dalam pikiran konsumen.
Menembus pertahanan mereka jelas tidak gampang. Kita harus
menciptakan relasi yang kuat dengan segmen pasar tertentu dari suatu
pasar yang massal. Merek yang diciptakan harus memberikan aneka manfaat
kepada aneka ragam konsumen dalam sebuah pasar. Lihat saja Coca-Cola
dengan “The Real Thing”, jelas sangat relevan dengan aneka ragam situasi dan kesempatan.
Untuk menembus merek “neolib” tentu sangat memeras pikiran dan
keringat. Desain pengembangan merek harus ditujukan kepada beraneka
ragam jenis konsumen dan dengan motif mengonsumsi yang berbeda-beda.
Konsep eksplorasi nilai, penciptaan nilai, dan komunikasi nilai di
antara berbagai segmen yang berbeda harus mendapat perhatian besar dari
pemasar. Komunikasi nilai jelas harus mengandung manfaat fungsional
maupun emosional.
Kalau konsep di atas bisa kita implementasikan, peluang mengalahkan
merek neolib akan sangat besar, tapi tidak mudah. Jadi, jangan serahkan
pasar kita ke pihak asing, terutama yang mejadi penganut konsep merek
neolib. Berjuanglah! (www.marketing.co.id)
http://www.marketing.co.id/2011/11/22/konsep-merek-neolib/