Search This Blog

Wednesday, November 30, 2011

Konsep Merek Neolib

Masih ingatkah Anda, paham ekonomi apa yang dituduhkan dianut pasangan SBY-Budiono, oleh lawan-lawan politiknya pada Pemilihan Presiden 2009 lalu? Jawabannya adalah neoliberal. Neolib merupakan paham yang mengacu pada filosofi ekonomi politik akhir abad ke-20-an yang merupakan tindak lanjut dari liberalisme klasik.

Neoliberalisme lebih mengarah pada ekonomi pasar dan perdagangan bebas sehingga kecenderungannya yang kuatlah yang akan memenangkan persaingan. Paham ini juga meniadakan hambatan perdagangan internasional dan investasi sehingga semua negara lebih mudah untuk memasarkan produknya ke negara lain. Dan, sepertinya memang benar, Indonesia sekarang berada di naungan paham ekonomi neolib.

Besarnya jumlah penduduk di Tanah Air menjadi barang dagangan yang lalu dimanfaatkan oleh negara lain sebagai pasar produk-produk mereka. Sayangnya, kita sekadar menjadi pasar, bukan pemasar. Jadi, kita cuma bisa membeli barang-barang mereka di negara kita tanpa mampu memasarkan produk ke tanah mereka secara seimbang.

Pasar Indonesia saat ini banyak dikuasai oleh penganut konsep merek neolib, merek yang mampu mendikte pasar, sehingga konsumen takluk hatinya. Konsumen menjadi sangat percaya kepada mereka dan bersedia membayar lebih mahal, sehingga merek neolib tersebut bisa memperoleh laba tinggi tanpa saingan untuk jangka waktu yang lama. Laba mereka supernormal dan membuat mereka mudah menindas pesaing dan mengeksploitasi pikiran konsumen, dan jarang mau melakukan investasi sosial.

Penganut konsep merek neolib gampang kita temukan di  mal. Banyak sekali ritel merek asing yang bertengger di lantai-lantai strategis. McDonald’s, KFC, Dunkin’ Donuts, Starbucks, dan Pizza Hut adalah sedikit pemain global yang menguasai mal-mal di kota-kota besar negeri ini. Di Medan mereka ada, di Surabaya juga ada mereka, di Makassar pun begitu, apalagi di Jabodetabek. Amat disayangkan kita tidak memiliki restoran yang bisa mengalahkan McD atau kedai yang menaklukkan Pizza Hut.

Tak Nasionalis
Karena sifatnya neolib, peran badan usaha milik pemerintah seperti Sarinah pun tak ubahnya pencari keuntungan yang sebesar-besarnya tanpa memikirkan kepentingan-kepentingan lain. Sarinah yang milik pemerintah tidak mau “membantu” menyukseskan pengusaha-pengusaha lokal yang sebetulnya patut didorong. Apa jadinya kalau semua BUMN tidak memiliki strategi politik demi kepentingan nasional?

Marilah kita terbang ke Filipina dan belajar sejenak di sana. Begitu mendarat dan menjauhi bandar udara, silakan Anda cari McD. Di sana ada, tapi tidak akan semudah di sini. Sebab, Jollibee telah berkuasa di sana.

Pada akhir tahun 1970-an, Tony Tan Caktiong, pemilik kedai es krim kecil di kawasan menengah bawah, mendengar raksasa McDonald’s akan hadir di Filipina. Tan khawatir tokonya akan tergeser dan segera menyadari perlu perubahan untuk mengalahkan resto asal AS itu.

Tan pun akhirnya menerapkan teori Sun Tzu. Ia terbang ke AS untuk mempelajari seberapa besar, seberapa kuat, dan apa saja kekuatan musuhnya itu. Setelah beberapa minggu, ia kembali dan siap mengubah Jollibee. Resto kecilnya itu kemudian diubah menjadi besar, punya maskot, seragam warna-warni untuk kru, salam ceria, kentang dan ayam goreng, serta burger dengan harga jauh lebih murah.

Saat McDonald’s masuk ke Manila tahun 1981, pasar Filipina tidak melihatnya sebagai konsep yang aneh. Mereka sudah terbiasa dengan Jollibee. Pada tahun 1984, Jollibee sudah masuk 500 perusahaan top negara itu. Sebab, pada tahun 2005 saja, gerai Jollibee sudah tersebar di sembilan negara dengan total 1.186 lokasi, termasuk 120 gerai di Cina. Kini, barangkali jumlahnya sudah berlipat-lipat, dan McDonald’s tetap kalah dibuatnya.

Kemudian Lotteria asal Korea Selatan. Restoran cepat saji mirip McDonald’s yang dibuka Lotte Group pertama kali di Jepang pada September 1972 ini tersebar di berbagai sudut jalan di Korea. Restoran pertama di Korea dibuka di Seoul pada 25 Oktober 1979. Kini, Lotteria bisa ditemui tidak hanya di Korea dan Jepang, tapi juga di Cina, Taiwan, dan Vietnam. Dan Lotteria ini juga mengalahkan McDonald’s di negara asalnya, Korea Selatan.

Perang Merek
Melihat contoh-contoh resto lokal yang kemudian memenangkan pertarungan di pasarnya sendiri, kita menjadi rindu pada pemain-pemain lokal kita yang “kok enggak ada yang seperti Jollibee dan Lotteria”. Apalagi sekarang pasar Jakarta sudah mulai dipadati 7-Eleven yang dalam waktu singkat telah tumbuh belasan gerai dan sukses.

Karena itu, pemain lokal sebaiknya banyak belajar pada Jollibee dan Lotteria. Kita percaya kedua merek itu memahami betul pasar lokal, memiliki keunikan konsep, dan pintar menangkis serangan-serangan lawan. Starbucks, Coca-Cola, Harley Davidson, dan McDonald’s jelas memiliki daya tarik yang sangat besar dalam pikiran konsumen.

Menembus pertahanan mereka jelas tidak gampang. Kita harus menciptakan relasi yang kuat dengan segmen pasar tertentu dari suatu pasar yang massal. Merek yang diciptakan harus memberikan aneka manfaat kepada aneka ragam konsumen dalam sebuah pasar. Lihat saja Coca-Cola dengan “The Real Thing”, jelas sangat relevan dengan aneka ragam situasi dan kesempatan.

Untuk menembus merek “neolib” tentu sangat memeras pikiran dan keringat. Desain pengembangan merek harus ditujukan kepada beraneka ragam jenis konsumen dan dengan motif mengonsumsi yang berbeda-beda. Konsep eksplorasi nilai, penciptaan nilai, dan komunikasi nilai di antara berbagai segmen yang berbeda harus mendapat perhatian besar dari pemasar. Komunikasi nilai jelas harus mengandung manfaat fungsional maupun emosional.

Kalau konsep di atas bisa kita implementasikan, peluang mengalahkan merek neolib akan sangat besar, tapi tidak mudah. Jadi, jangan serahkan pasar kita ke pihak asing, terutama yang mejadi penganut konsep merek neolib. Berjuanglah! (www.marketing.co.id)
http://www.marketing.co.id/2011/11/22/konsep-merek-neolib/

No comments:

Post a Comment