Search This Blog

Friday, November 18, 2011

Menyikapi Konsumen 'Bawel' di Media Sosial

Biasanya layanan konsumen dari suatu produk atau layanan jasa, disediakan melalui jalur khusus oleh pihak perusahaan. Konsumen yang ingin komplain tentang produk atau layanan tersebut bisa menghubungi alamat kontak yang disediakan si perusahaan. Tapi kini, dengan adanya media sosial, komplain bisa terjadi di sana dan bisa dilakukan kapan saja.

Tidak jarang perusahaan memiliki akun di media sosial, tetapi tidak ada administrator yang mengendalikan akun tersebut. Komplain konsumen bukannya terselesaikan, malah bisa jadi meluas karena dialog di media sosial -  seperti diskusi di dinding Facebook atau lewat linimasa Twitter - bisa terpantau publik, sehingga pasti berpengaruh terhadap citra si perusahaan.

Menurut sebuah survei Market Tools yang dilaporkan eMarketer.com, ternyata masih ada perusahaan yang tidak sadar kalau  produk atau layanan mereka dibicarakan di media sosial. Dalam grafik di samping ini, tercatat ada 22% dari responden yang tidak tahu kalau ada konsumen mereka yang komplain di media sosial. 34% dari mereka mengakui memang ada komplain di media sosial, sedangkan 44% sisanya percaya bahwa produk atau layanan mereka tidak dikomplain di media sosial.

Survey Market Tools Perusahaan yang konsumennya adalah perusahaan lainnya (business-to-business) memang paling jarang mendapat komplain melalui media sosial. Biasanya hubungan di antara mereka lebih privat dan memiliki jalur tersendiri. Tetapi bagi perusahaan yang konsumennya adalah masyarakat umum, komplain seperti ini cenderung lebih sering terjadi.

Bagaimana dengan respon mereka terhadap komplain konsumen di media sosial? Menurut survei ini pula, tergambar bahwa perusahaan cukup memberi respon terhadap komplain konsumen. Dari dua media sosial yang dijadikan contoh, Facebook dan Twitter, tampak bahwa hanya 14% yang tidak pernah dan 3% yang jarang merespon komplain di Facebook. 25% responden menyatakan mereka selalu merespon, dan 29% lainnya menyatakan sering merespon.

Sedangkan di Twitter, hanya 18% yang selalu merespon, dan 24% yang menyatakan sering merespon. 25% lainnya menyatakan tidak pernah merespon komplain di Twitter, 4% lainnya menyatakan jarang. Dari Twitter ini tampak lebih banyak perusahaan yang mengabaikan komplain konsumen daripada yang merespon. Dibandingkan dengan Twitter, komplain di Facebook ternyata lebih sering direspon.

Menurut hasil survei lain yang relevan, pengguna Twitter memiliki kecenderungan ingin direspon. Tweeps yang disurvei menyatakan perusahaan yang merespon komplain cenderung menjadi favorit mereka, dan hal ini mendorong mereka lebih percaya pada produk atau layanan yang ditawarkan. Jika ternyata respon lebih banyak muncul di Facebook, fakta ini mungkin tidak akan memuaskan konsumen. 

Merespon komplain di ruang publik seperti di media sosial memang mendatangkan dilema tersendiri. Blog sysomos.com menyarankan, perusahaan harus mengembangkan kebijakan yang jelas mengenai bagaimana menangani komplain di media sosial. Mereka harus memiliki prosedur yang memudahkan dalam mengidentifikasi, mengkategori, dan memprioritaskan jenis komplain seperti apa yang harus segera ditangani.
Di saat yang sama, perusahaan juga harus membuat strategi untuk memudahkan penyelesaian komplain 'kecil' yang tidak harus ditangani secara intensif, misalnya dengan menyediakan halaman kumpulan jawaban (FAQ - Frequently Asked Questions) terhadap pertanyaan/komplain yang sering muncul. Bisa juga mengembangkan forum khusus, atau memanfaatkan aplikasi pihak ketiga seperti getsatisfaction.com yang menyediakan layanan konsumen secara daring. 

Blog sysomos.com menggarisbawahi satu hal, konsumen ingin suara mereka didengar. Respon perusahaan yang terpenting adalah meyakinkan konsumen bahwa mereka memang beritikad baik untuk mendengarkan suara konsumennya. Peduli terhadap suara konsumen jangan hanya jadi slogan.
http://salingsilang.com/baca/menyikapi-konsumen-bawel-di-media-sosial

No comments:

Post a Comment