Biasanya layanan konsumen dari suatu produk atau layanan jasa,
disediakan melalui jalur khusus oleh pihak perusahaan. Konsumen yang
ingin komplain tentang produk atau layanan tersebut bisa menghubungi
alamat kontak yang disediakan si perusahaan. Tapi kini, dengan adanya
media sosial, komplain bisa terjadi di sana dan bisa dilakukan kapan
saja.
Tidak jarang perusahaan memiliki akun di media sosial,
tetapi tidak ada administrator yang mengendalikan akun tersebut.
Komplain konsumen bukannya terselesaikan, malah bisa jadi meluas karena
dialog di media sosial - seperti diskusi di dinding Facebook atau lewat
linimasa Twitter - bisa terpantau publik, sehingga pasti berpengaruh
terhadap citra si perusahaan.
Menurut sebuah survei Market Tools yang dilaporkan eMarketer.com,
ternyata masih ada perusahaan yang tidak sadar kalau produk atau
layanan mereka dibicarakan di media sosial. Dalam grafik di samping ini,
tercatat ada 22% dari responden yang tidak tahu kalau ada konsumen
mereka yang komplain di media sosial. 34% dari mereka mengakui memang
ada komplain di media sosial, sedangkan 44% sisanya percaya bahwa produk
atau layanan mereka tidak dikomplain di media sosial.
Perusahaan yang konsumennya adalah perusahaan lainnya (business-to-business)
memang paling jarang mendapat komplain melalui media sosial. Biasanya
hubungan di antara mereka lebih privat dan memiliki jalur tersendiri.
Tetapi bagi perusahaan yang konsumennya adalah masyarakat umum, komplain
seperti ini cenderung lebih sering terjadi.
Bagaimana dengan respon mereka terhadap komplain konsumen di media
sosial? Menurut survei ini pula, tergambar bahwa perusahaan cukup
memberi respon terhadap komplain konsumen. Dari dua media sosial yang
dijadikan contoh, Facebook dan Twitter, tampak bahwa hanya 14% yang
tidak pernah dan 3% yang jarang merespon komplain di Facebook. 25%
responden menyatakan mereka selalu merespon, dan 29% lainnya menyatakan
sering merespon.
Sedangkan di Twitter, hanya 18% yang selalu
merespon, dan 24% yang menyatakan sering merespon. 25% lainnya
menyatakan tidak pernah merespon komplain di Twitter, 4% lainnya
menyatakan jarang. Dari Twitter ini tampak lebih banyak perusahaan yang
mengabaikan komplain konsumen daripada yang merespon. Dibandingkan
dengan Twitter, komplain di Facebook ternyata lebih sering direspon.
Menurut hasil survei lain
yang relevan, pengguna Twitter memiliki kecenderungan ingin direspon.
Tweeps yang disurvei menyatakan perusahaan yang merespon komplain
cenderung menjadi favorit mereka, dan hal ini mendorong mereka lebih
percaya pada produk atau layanan yang ditawarkan. Jika ternyata respon
lebih banyak muncul di Facebook, fakta ini mungkin tidak akan memuaskan
konsumen.
Merespon komplain di ruang publik seperti di media sosial memang mendatangkan dilema tersendiri. Blog sysomos.com menyarankan,
perusahaan harus mengembangkan kebijakan yang jelas mengenai bagaimana
menangani komplain di media sosial. Mereka harus memiliki prosedur yang
memudahkan dalam mengidentifikasi, mengkategori, dan memprioritaskan
jenis komplain seperti apa yang harus segera ditangani.
Di saat yang sama, perusahaan juga harus membuat strategi untuk
memudahkan penyelesaian komplain 'kecil' yang tidak harus ditangani
secara intensif, misalnya dengan menyediakan halaman kumpulan jawaban
(FAQ - Frequently Asked Questions) terhadap pertanyaan/komplain
yang sering muncul. Bisa juga mengembangkan forum khusus, atau
memanfaatkan aplikasi pihak ketiga seperti getsatisfaction.com yang menyediakan layanan konsumen secara daring.
Blog sysomos.com menggarisbawahi
satu hal, konsumen ingin suara mereka didengar. Respon perusahaan yang
terpenting adalah meyakinkan konsumen bahwa mereka memang beritikad baik
untuk mendengarkan suara konsumennya. Peduli terhadap suara konsumen
jangan hanya jadi slogan.
http://salingsilang.com/baca/menyikapi-konsumen-bawel-di-media-sosial
No comments:
Post a Comment