Search This Blog

Tuesday, July 31, 2012

Infographic: The Ad Agency Bloodline


The Ad Agency BloodlineIf you’ve ever wondered how the world’s agencies ended up into just a handful of holding companies, this Ad Agency Bloodline infographic will probably shed some light on it! Complete with global staffing levels and revenue, it showcases the who’s who of advertising and media agencies from around the world. It’s a ridiculously wide infographic, so you’ll need to click on the graphic below to open up the high-res version to read.
The Ad Agency Bloodline

http://www.digitalbuzzblog.com/infographic-the-ad-agency-bloodline/

25% Total Pengguna Facebook Berada di Asia Pasifik


Salah satu perusahaan yang bergerak di bidang media sosial dan analisis digital, Socialbakers, baru saja merilis hasil temuan terbaru mereka mengenai demografi pengguna Facebook di kawasan Asia Pasifik. Hasil data  ini diumumkan setelah melalui penelitian selama satu tahun, yang dimulai per 9 Juli 2011 hingga 9 Juli 2012. 
Cina sebagai negara dengan jumlah penduduk terbanyak di kawasan ini tidak masuk dalam hitungan, karena mereka menolak kehadiran jejaring sosial ini. Pun demikian, tanpa kehadiran Negeri Tirai Bambu tersebut, besaran jumlah pengguna situs ini mencapai 229 juta orang atau 25% dari total seluruh pengguna Facebook di kawasan lain yang tercatat kini 901 juta orang.
Seperti hasil yang telah ditemukan sebelumnya bahwa Indonesia Negara Pengguna Facebook Terbesar Kedua di Asia, posisi tersebut belum berubah, karena di jajaran puncak masih dipegang oleh India dengan pengguna sebanyak 49.8 juta orang. Sayangnya, data ini lupa memasukkan Taiwan. Padahal, negara yang berada di bagian Timur Asia tersebut menurut sumber Socialbakers juga, memiliki pengguna Facebook sebanyak 12.3 juta orang. Ini tentu saja menempatkan mereka sebagai negara peringkat empat dengan pengguna terbanyak di bawah India, Indonesia, dan Filipina.
Beberapa temuan menarik lainnya dari hasil data ini adalah; meski India masih tercatat sebagai negara dengan pengguna terbanyak, namun Korea Selatan justru tercatat sebagai negara dengan presentase pertumbuhan yang paling tinggi selama kurun waktu setahun ini. Negeri ginseng tersebut mencatat pertumbuhan 94%, India 69%, Thailand 41%, dan Indonesia 13%. Di Australia, Fan Page Facebook yang paling banyak menarik jumlah penggemar adalah fashion.  Berbeda dengan Singapura yang penggemar terbanyaknya dipegang oleh halaman telekomunikasi.

http://salingsilang.com/baca/infografik-25-total-pengguna-facebook-berada-di-asia-pasifik

Friday, July 27, 2012

Perilaku Digital Pasar Remaja


Merek-merek yang membidik pasar remaja akan mengalami tantangan yang lebih besar di era digital. Ini juga terlihat dari hasil survei Top Brand for Teens yang disajikan  marketing.co.id. Ketika era digital belum datang, merek-merek yang membidik pasar remaja sebenarnya juga sudah berhadapan dengan problem yang berhubungan dengan loyalitas.
Maklum, mereka adalah pasar yang sensitif terhadap harga sehingga kemungkinan untuk pindah ke merek baru yang menawarkan harga murah, sangatlah besar. Pasar remaja juga adalah pasar yang diisi oleh konsumen yang variety seeker. Mereka ingin mencoba merek yang baru, relatif cepat bosan, dan berani mengambil risiko untuk sebuah merek yang tak dikenal sebelumnya.
Tahun ini dan di masa-masa mendatang, tantangan ini semakin besar. Hasil survei dari Frontier Consulting Group mengenai perilaku digital para remaja Indonesia menunjukkan kebenaran hipotesa ini. Hanya dalam waktu satu tahun saja sudah terlihat perbedaan yang sangat signifikan.
Survei dari Frontier ini dilakukan di enam kota besar di Indonesia. Kelompok responden adalah remaja yang berusia antara 13 hingga 18 tahun, atau mereka yang duduk di bangku SMP dan SMA. Hasil survei menunjukkan para remaja yang memiliki akun media sosial adalah 91,2% di tahun 2011. Pada tahun 2012, persentase ini meningkat menjadi 97,5%. Peningkatan terbesar adalah perilaku mereka dalam hal melakukan download atau upload, yang semula hanya 48,8% di tahun 2011, menjadi 71,1% di tahun 2012.
Salah satu kesimpulan dari hasil survei ini adalah bahwa remaja Indonesia sudah semakin dalam menggunakan media sosial baik dari jumlah waktu maupun besarnya engagement mereka. Apa implikasinya terhadap strategi dan proses dalam membangun Top Brand for Teens? Media sosial telah membuat remaja semakin memiliki banyak informasi terhadap merek-merek yang ditujukan untuk mereka. Kesempatan yang besar bagi merek-merek baru untuk dengan mudah mengisi benak pasar remaja.
Kedua, remaja-remaja Indonesia juga akan semakin memiliki kemampuan untuk membuat keputusan sendiri dalam melakukan pembelian atau memiliki pengaruh yang semakin kuat terhadap orangtua mereka. Memang, mereka belum memiliki penghasilan. Banyak proses keputusan pembelian merek yang mereka lakukan adalah terbatas dari uang saku yang mereka peroleh dari orangtua. Untuk produk-produk di luar jangkauan uang saku mereka, remaja ini bisa memberikan pengaruh kepada orangtuanya dalam membuat keputusan. Kalau di masa lalu, sebagian besar adalah rekomendasi orangtua kepada anak remajanya, tetapi saat ini, proses terbalik. Keinginan membeli dimulai dari anak remaja dan kemudian orangtua memberikan persetujuan. Ini terjadi terutama di produk-produk fashion, kosmetik, hingga penentuan liburan. Anak remaja saat ini dipersepsi oleh orangtuanya sebagai anak yang semakin cerdas. Mereka mendapatkan informasi lebih banyak dibandingkan orangtuanya. Tidak mengherankan bila kemudian orangtua bukan sebagai pihak yang menentukan dan memengaruhi, tetapi sebagai gate keeperatau pihak yang hanya memberikan persetujuan.
Ketiga, kemampuan media sosial dalam menyebarkan buzz sungguh luar biasa. Facebook, Twitter, dan YouTube sudah menunjukkan kehebatannya untuk menyebarkan informasi kepada para remaja dengan kecepatan yang tidak pernah terbayangkan. Ini juga yang membuat penyebaran informasi mengenai merek menjadi puluhan kali lebih cepat. Merek-merek yang sudah stabil akhirnya mudah digoyang pula.
Kesemua fenomena ini menunjukkan bahwa para CMO, marketing, atau brand manager yang mereknya membidik pasar remaja harus lebih sensitif dan cepat merespons pasar dan sekaligus harus semakin kreatif. Tidak mengherankan, hasil survei Top Brand for Teens juga menunjukkan bahwa terdapat merek-merek papan atas yang indeks Top Brand-nya turun hingga 10% hanya dalam waktu satu tahun. Sebuah penurunan indeks yang tidak akan mudah terjadi bila merek ditujukan untuk segmen dewasa.
Segmentasi Baru
Untuk melihat dampak perilaku digital terhadap kekuatan merek, CMO harus melakukan pendekatan yang baru dalam melihat konsumen. Groundswell memberi sebuah pandangan baru bagaimana membagi konsumen seusia dengan aktivitas dan pengaruh merek dalam dunia online. Dia membagi menjadi tujuh segmen atau kelompok, yaitu segmen creator, conversationalist, critic, collector, joiner, spectator, daninactive. Segmen-segmen tersebut adalah para konsumen yang sangat aktif dan terlibat, dan dunia digital adalah bagian kehidupan mereka yang sangat penting.
Creator adalah mereka yang termasuk blogger. Mereka menulis, menciptakan, dan memberikan pengaruh kepada orang banyak. Conversationalist adalah mereka yang memiliki akun media sosial dan secara aktif melakukan updating. Segmen kedua ini juga merupakan penyebar informasi yang besar. Selanjutnya, segmen critic adalah mereka yang aktif menjadi anggota forum online. Mereka dengan rajin memberikan komentar dan mau terlibat dalam sebuah percakapan, walau relatif lebih pasif dibanding dengan dua segmen sebelumnya.
Critic adalah konsumen yang masih memberikan komentar pendek. Mereka mau merespons apakah like terhadap tampilan tertentu atau ikut dalam suatu vote dunia online. Segmen collector adalah konsumen yang masih rajin berlangganan RSS dan menjadi anggota dari berbagai situs.
Joiner adalah mereka yang mungkin masih memiliki akun media sosial tetapi relatif pasif. Mereka hanya kelompok yang tidak ingin merasa ketinggalan terhadap perkembangan digital. Yang banyak dihuni oleh mereka yang berusia lebih dari 50tahun adalah segmen spectator. Mereka mungkin membaca berita digital, tetapi tidak tertarik menjadi bagian dari komunitas digital. Mereka adalah segmen penonton saja. Disebut sebagai bagian dari inactive kalau tidak melakukan aktivitas apa pun dalam dunia digital. Mereka hanya senang menonton televisi atau bertemu langsung dalam berkomunitas.
Bisa diduga bahwa konsumen remaja adalah mereka yang banyak menduduki segmen atas dalam piramida ini. Creator, walau jumlahnya sedikit—mungkin hanya 0,1%, memberikan pengaruh lebih dari 50% konsumen. Sebuah komplain dari para creator atau conversationalist akan menyebar kepada ribuan atau jutaan konsumen dalam waktu sangat singkat.
Oleh karena itu merek-merek yang membidik segmen di bawah piramida ini akan beruntung. Mereka masih akan menikmati banyak kestabilan. Maklum, mereka yang berusia diatas 40 tahun banyak yang masuk dalam grup inactivespectator, atau joiner. Mereka sungguh pasif dalam aktivitas media sosial dan selalu menjadi grup yang ketinggalan informasi.
Merek-merek yang membidik pasar remaja pun, tidak akan memiliki dampak yang sama. Ada beberapa industri yang memang sensitif terhadap media sosial, seperti industri kuliner, fashion, dan otomotif. Ketergantungan industri ini terhadap media sosial semakin besar.
Di satu sisi, justru ini bisa menjadi kesempatan bagi merek yang cerdas memanfaatkannya. Mereka akan mendapati biaya komunikasi yang lebih efisien. Mereka akan menikmati pembangunan merek yang lebih cepat. Selain itu, merek-merek yang kemudian bisa melibatkan segmen remaja agar lekat dan memiliki engagement dengan merek mereka, semakin terbuka. Sungguh sayang, masih banyak perusahaan dan CMO yang tidak menyadari akan tantangan dan sekaligus kesempatan yang besar dalam era digital ini.

Tuesday, July 24, 2012

Kehidupan Remaja di Era Media Sosial


 90 persen remaja telah menggunakan media sosial secara aktif, hal tersebut terungkap dalam riset yang dilakukan oleh Common Sense Media. 
Lebih lanjut, Common Sense Media menyajikan infografik terkait aktivitas remaja di era media sosial. Infografik ini bersandar pada riset mereka tersebut, serta beberapa tambahan informasi yang juga tak kalah menarik.
Dalam infografik ini terungkap bahwa Facebook menjadi media sosial utama pilihan para remaja. 51 persen remaja mengaku bahwa mereka telah menjadikan aktivitas melihat situs media sosial –terkhusus Facebook— sebagai bagian dari rutinitas sehari-hari. Aktivitas itu hanya kalah dengan rutinitas texting (sms dan instant messaging) yang mencapai persentase 68 persen.
75 persen dari remaja yang terlibat dalam riset ini menyatakan bahwa mereka mempunyai akun media sosial. Facebook menjadi yang terbaik dengan persentase pengguna sebanyak 68 persen, disusul oleh Twitter (6 persen), serta Google+  dan LinkedIn (1 persen). Penggunaan media sosial juga membantu para remaja untuk membangun hubungan baik dengan keluarga dan teman mereka, serta menumbuhkan rasa kepercayan diri.
Terungkap juga bahwa 41 persen Remaja menyatakan mereka telah kecanduan dengan telepon genggam, sebanyak 20 persen mengakui candu serupa terjadi pada media sosial. Meski demikian 36 persen dari para remaja tersebut sesekali berharap jika mereka bisa kembali di masa ketika media sosial –terkhusus Facebook— belum ada.
Temuan lainnya mengungkapkan bahwa aktivitas berbagi foto merupakan salah satu favorit para remaja, terutama remaja putri. Sebanyak 75 persen remaja putri menyukai saat mereka mem-publish foto, serta 42 persen remaja putra juga menyenangi hal tersebut. Berikut sajian lengkap infografik yang berjudul “Social Media, Social Life: How Teens View Their Digital Lives” tersebut:

http://salingsilang.com/baca/infografik-kehidupan-remaja-di-era-media-sosial

Monday, July 23, 2012

How Twitter Dominates Brand Conversations


For all the fragmentation people talk about online, there’s one area that’s consolidating: Conversations about brands are happening on Twitter. In just a few years, Twitter has risen to become the go-to place for such brand chatter, leaving even Facebook in the dust.
According to a study by Burson-Marsteller using Visible Technologies’ social monitoring tools, the global Fortune 100 were mentioned 10.4 million times online in a month — and more than half those were on Twitter. That’s not only more than Facebook, it’s 10x more, as Facebook garners about 460,000 top-brand mentions per month.
This isn’t lost on brands, who have set up rapid-reaction forces dedicated solely to Twitter. Delta Air Lines has the fastest average response time of 11 minutes via its @deltaassist handle. This can stretch beyond customer service. For example, there’s the little flame war going on between Taco Bell and Old Spice, which undoubtedly got the brands some mentions in the Twitter-sphere.
The question for Twitter is whether it can turn all this brand chatter into an ad business. For now, it has the benefit of having the attention of brands. Burson found 82 percent are using Twitter, even more than the 74 percent on Facebook. (In comparison, fewer than half of the Fortune 100 have Google Plus accounts, and just a quarter are on Pinterest.) Right now, Twitter is banking on these companies turning to it to amplify the reach of its messages and accounts.

Friday, July 20, 2012

Berkicau di Twitter Bisa Hilangkan Gejala Depresi


Older people University of Alabama, Birmingham, Inggris, melakukan survei terhadap 8.000 laki-laki dan perempuan berusia lebih dari 50 tahun di Inggris untuk mengetahui kebiasaan mereka berselancar di dunia maya. Pada awal survei, para responden diminta untuk menjawab sejumlah pertanyaan mengenai aktivitas di internet dan jejaring sosial. Berikutnya satu per satu dites mengenai kesehatan kejiwaan yang terkait dengan mental illness dan depresi .
Penelitian tersebut untuk mengetahui korelasi antara penggunaan internet dan depresi. Pada riset yang dilakukan oleh institusi lain sebelumnya menyebutkan bahwa depresi pada seseorang akan meningkat seiring dengan bertambahnya usia. Depresi sering terjadi pada usia 45 tahun. Sebanyak 13% lansia berumur 85 tahun mengalami tekanan kejiwaan. Penyebabnya beragam antara lain kehilangan pekerjaan, menurunnya kesehatan dan kekuatan fisik, dikucilkan oleh keluarga, tidak bisa mandiri, dan tidak ada aktivitas menyenangkan yang dapat membuat hidup mereka tetap berharga.
Riset yang dilakukan oleh University of Alabama ternyata memeroleh hasil yang cukup menggembirakan buat kalangan lansia (lanjut usia). Responden berusia 50 tahun ke atas yang menjadi obyek survei dan menggunakan jejaring sosial Twitter dan Facebook lebih jarang terkena gejala depresi (symptoms of depression) daripada mereka yang tidak menggunakan media sosial. Menurut Dr Shelia Cotten, yang mengepalai proyek riset di University of Alabama, penggunaan internet ternyata memiliki efek positif untuk melawan depresi, terutama bagi para lansia.
Twitter Adoption
Hasil riset tersebut diperkuat oleh survei "Internet and American Life Project Winter 2012" yang dilakukan oleh Pew Research Center. Menurut survei yang diadakan mulai 20 Januari – 19 Februari 2012 tersebut, sebanyak 13% orang Amerika  Serikat berusia  50 tahun ke atas merupakan pengguna Twitter.  Jumlahnya diperkirakan meningkat terus setiap tahun. Sementara riset Pew Research Center lainnya yang diadakan pada 15 maret – 13 April 2012 terhadap 2.254 orang dewasa, diperoleh data lebih dari separuh  (53%) lansia di Amerika Serikat berumur 65 tahun ke atas menggunakan internet secara reguler.
Sumber artikel: AgeUK, www.salingsilang.com, foto: wazhmaaboutitissues.wordpress.com

Thursday, July 19, 2012

How Employers Really Feel About Social Media (Infographic)

There’s been plenty of talk about how social media has become a successful vehicle for recruiters and job seekers alike, but what about employers?
According to this infographic, researched and developed by PayScale, the higher-ups are really not too keen on the social media movement at large, especially when it involves giving social media freedom to employees within the company. And the fear of negative information keeps employers running for a tight leash. Only half of companies have a formal social media policy, and 42% of companies surveyed nix all forms of social media activity at work. In the employers’ eyes, social media should be exclusively reserved for carefully managed brand promotion and professionally handled social recruiting.
Check out the infographic below, which also features a comprehensive breakdown of industries that encourage more social media activities and ones that ban it. What is your company’s social media policy? Are you satisfied with it? 


Wednesday, July 18, 2012

Strategi Marketing sesuai Generasi


Setiap pergantian tahun akan memaknai munculnya generasi yang akan datang. Mereka yang lahir di tahun 2009 atau lebih nantinya mungkin akan menjadi generasi baru di masa mendatang. Pada saat mereka beranjak remaja dan menuju ke kedewasaan homogenitas dari perilaku orang-orang yang lahir di tahun ini akan melahirkan ciri-ciri generasi baru yang muncul.
Kadang-kadang kita merasa kurang beruntung ada di generasi yang salah. Namun setiap generasi yang lebih tua kemungkinan iri dengan generasi yang ada akan selalu lebih besar. Ini karena generasi yang lebih muda akan selalu menikmati kemajuan yang dibuat oleh generasi sebelumnya. Kadangkala generasi yang lebih tua tidak bisa menerima kebiasaan dan perilaku generasi yang lebih muda. Namun sekali lagi, hal ini memang lumrah karena generasi berikut akan hidup dengan tatanan nilai yang berbeda dengan yang sebelumnya. Sama seperti orang tua kita terkadang tidak menyetujui nilai-nilai yang kita percayai sekarang.
Di Amerika Serikat ada generasi perang dunia pertama, generasi di masa depresi, baby boomer, generasi X sampai dengan generasi Y. Menariknya setiap generasi akan selalu punya momentum sejarah yang kemudian dijadikan acuan untuk melihat perbedaan perilaku antar generasi. Mereka yang termasuk generasi baby boomer lahir setelah perang dunia. Mereka mengalami momen-momen penting di tahun 60-an dimana terjadi penembakan atas John F Kennedy, Martin Luther King, perang vietnam, perang dingin dan lain-lain. Mereka hidup di era yang penuh motivasi untuk kebebasan. Itulah sebabnya mereka menjadi generasi yang lebih individu, ingin bebas namun punya semangat sosial yang tinggi. Marketing yang bermotif social responsibility mulai bertumbuh di era yang dikuasai oleh generasi baby boomer.
Generasi X besar di dekade 80 sampai 90 an dimana ledakan teknologi bermunculan. Pesawat ulang-alik ruang angkasa Colombia muncul, namun fenomena penyakit AIDS pun mengemuka di dunia. Generasi ini hidup di lingkungan yang serba ada sehingga cenderung menjadi generasi yang  protektif dan safety. Generasi yang cenderung kurang ngotot karena sudah melihat generasi di atas mereka yang giat bekerja dan tidak memiliki waktu untuk keluarga.
Kini mulai bermunculan generasi Y yang hidup di dunia internet, dan ledakan informasi. Berbeda dengan generasi X, mereka justru generasi yang tidak takut bahaya, suka tantangan dan siap menyediakan waktu mereka untuk bekerja. Mereka hidup di zaman serba instan sehingga mereka pun ingin sukses lebih cepat dan  pensiun dini. Perhatian mereka terhadap lingkungan semakin besar karena mereka hidup di era kerusakan lingkungan dan global warming.
Sama seperti di Amerika Serikat, sebenarnya lahirnya bermacam-macam generasi di Indonesia karena adanya momentum tertentu. Mereka yang besar di era setelah perang kemerdekaan adalah tipe pekerja keras. Mereka tidak tergantung orang tua dan hidup penuh disiplin. Makanya tidak heran jika kita bisa melihat anak petani menjadi konglomerat atau Jenderal. Ini berbeda dengan generasi yang besar di masa orde baru dimana keharmonisan dan keseimbangan hidup selalu dijaga. Mereka hidup di era pertumbuhan ekonomi yang tinggi sehingga mirip dengan generasi X yang lebih memilih untuk menikmati hasil kerja keras dari orang tuanya.
Generasi sekarang mulai bertumbuh di iklim reformasi dan informasi. Mereka besar di era demokratisasi dan kebebasan berpendapat. Mereka tumbuh dimana penetrasi internet di Indonesia akan semakin besar. Era buka-bukaan yang pernah muncul di tahun 60-an tapi minus internet. Generasi yang kehidupan pribadinya pun sudah mereka buka. Mereka tidak malu-malu tampil di muka umum. Itulah sebabnya reality show semakin merebak di televisi. Orang lain dikerjain dan diekspos di televisi. Sesuatu yang mungkin membuat orang-orang di generasi sebelumnya menggeleng-gelengkan kepala.
Tapi itulah siklus sejarah manusia. Teori keseimbangan akan selalu terjadi. Generasi baru akan selalu kontradiktif dengan generasi sebelumnya, dan kemudian beberapa pola perilaku nantinya justru akan mirip dengan generasi yang dulu.
Sebagai marketer, menempatkan strategi marketing yang sesuai dengan pola perilaku generasi yang ada sangat penting, kalau Anda tidak mau ketinggalan. Bisa jadi merek kita pun menjadi terlalu erat dengan generasi yang ada. Akibatnya Anda harus melakukan penyegaran kembali merek Anda. Tidak semua produk bisa memiliki warisan generasi yang bisa diterima oleh konsumen. Dji Sam Soe masih bisa diterima oleh konsumen sekarang sekalipun masih mempertahankan kemasan kunonya. Tapi A-Mild harus melakukan pendekatan yang lebih pas dengan generasi sekarang. Softex harus berani menyeberang ke generasi sekarang setelah produknya dianggap lebih pas untuk generasi 60-an yang sekarang mungkin sudah menjadi nenek-nenek.
Kita harus hati-hati mengantisipasi perubahan generasi. Seperti teknologi, adanya generasi 3.5 G akan segera mematikan generasi 2G dan 3G, web 2.0 akan menggantikan web 1.0. Teknologi CD langsung melumatkan  teknologi laser disc.
Kita mungkin belum bisa meramalkan momentum apa di masa mendatang yang bisa menciptakan generasi dengan pola perilaku yang benar-benar baru. Namun Anda harus membaca dengan jeli setiap perubahan gaya hidup yang ada. Kalau Anda tidak jeli, suatu saat generasi baru yang muncul akan menolak produk Anda. Karena, kita selalu belajar bahwa generasi baru cenderung menolak kemampanan yang ada. 
sumber: www.marketing.co.id

Monday, July 16, 2012

Economy-Proof Ads: Funny Beats Frugal in Advertising


By James Russo, Vice President, Global Consumer Insights, Nielsen
In 2011, worldwide ad spending totaled $488 billion, $72 billion of which was spent on U.S. television alone. Over the next decade, estimated global consumer spending will exceed $450 trillion. With so much at stake—and many markets continuing to face tough economic realities, how do advertisers reach and resonate with an increasingly diverse, demanding and connected audience? Nielsen conducted an in-depth custom research study of advertising effectiveness of more than 4,000 ads before, during and after the “Great Recession” to find out.
What we wanted to know: to what extent, if any, has the tumultuous economic climate and subsequent attitude shifts impacted consumer responsiveness to various creative tactics?
The Findings
  • Humorous ads have consistently resonated best with viewers, regardless of the economy or year
  • During the recession, there was a notable lift in effectiveness of sentimental and value-oriented ads
  • Ads focused on product features and promotion/price do not resonate with viewers . . . . even during  tough economic times
  • The performance of narrative and sentimental ads has improved since 2006
ad-genres
Trends to Watch
Advertising effectiveness has never been more closely tied to consumer confidence. The global recession shook consumer confidence.  Economic cycles can now help predict ad effectiveness and consumer responsiveness to various creative strategies.
Look for the rise of the global middle class, urbanization, the new female economy and a notable shift in advertising spending to all be engines for change and the future growth of consumer spending.
Methodology:
Nielsen looked at more than 4,000 U.S. CPG ads from 2006 to 2011 and categorized the ads by creative approach: humor, narrative, sentimental, product, promotional and value. The study then evaluated the “effectiveness” of each creative approach through different phases – pre (2006-2007) during (2008-2009) and post (2010-2011) – of the most recent recession cycle.

Friday, July 13, 2012

Memahami Perilaku Konsumen


Pemasaran memang tidak lepas dari kondisi ekonomi, tapi ahli ekonomi sering kurang mempelajari ilmu pemasaran. Padahal ekonomi dan pemasaran adalah dua komponen yang bisa saling mengisi. Jangan-jangan, itulah sebabnya mengapa ekonomi Indonesia tidak dibangun dengan visi pemasaran yang jelas.
Kalau perlu Nota Keuangan serta Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) disertai dengan strategi marketing: bagaimana strategi memasarkan produk-produk andalan seperti migas atau produk ekspor lain agar bisa mencapai revenue yang diharapkan. Tapi, jangankan menjalankan strategi pemasaran, mempelajari dan memahami perilaku konsumen Indonesia saja barangkali tidak dilakukan pemerintah. Padahal perilaku konsumen kita sedikit banyak dipengaruhi, mempengaruhi atau bahkan terganggu gara-gara kebijakan di dalam APBN.
APBN adalah salah satu komponen yang menentukan pertumbuhan ekonomi negara. Komponen lain adalah konsumsi, investasi dan ekspor-impor. Naik-turunnya konsumsi tentunya akan dipengaruhi bagaimana perilaku konsumen dalam membeli produk. Di sisi lain, perilaku konsumen di Indonesia secara tidak langsung juga berhubungan dengan APBN. Jadi, karena kurang memahami perilaku konsumen, pemerintah tidak punya strategi untuk mengantisipasi perilaku masyarakat yang muncul karena kebijakan tertentu.
Contohnya soal kenaikan gaji pegawai (PNS) yang menjadi salah satu komponen dalam APBN. Memang serba susah bagi pemerintah kalau bagian ini tidak diumumkan. Soalnya ini bagian yang paling ditunggu-tunggu banyak orang. Tapi masalahnya, kenaikan gaji PNS akan langsung memicu harga-harga naik, sekalipun kenaikan gaji itu baru tahun depan. Apalagi pengumumannya dilakukan mendekati hari raya. Di Indonesia, (lucunya) gaji PNS menjadi referensi bagi pemasar komoditi. Mereka menganggap bahwa tahun depan kenaikan pendapatan konsumen kira-kira sebesar 20 persen. Akibatnya, daya beli mereka juga diperkirakan naik sebesar 20%.
Kalau dipikir-pikir jumlah pegawai negeri tidak lebih dari 4 juta orang atau 4% dari jumlah tenaga kerja di Indonesia. Mereka sebagian besar juga kelompok berpendapatan pas-pasan, tapi kelompok inilah yang dijadikan patokan untuk menaikkan harga barang. Masalahnya, apakah sisa jumlah pekerja yang 96%  juga mengalami kenaikan income lebih besar atau minimal sama dengan PNS?
Mungkin menaikkan harga adalah pekerjaan para spekulan yang mencoba mencari untung. Tapi siapa pun yang membuat harga komoditas utama naik, efeknya akan berpengaruh ke semua harga. Harga komoditas menjadi referensi bagi para pemasar untuk menaikkan harga juga.
Dalam kasus konversi minyak tanah dengan gas yang lalu, sebenarnya selain ketakutan konsumen bahwa gas mudah meledak, mereka juga merasa nantinya tidak bisa membeli gas ketengan. Pemerintah tidak sadar bahwa salah satu dari 10 karakter konsumen Indonesia adalah bahwa konsumen Indonesia berpikir short-term (jangka pendek). Banyak pembelian dilakukan oleh orang Indonesia berdasarkan pendekatan budget.
Memang jika dihitung secara rasional, gas memang lebih murah. Tapi masalahnya mereka tidak bisa membeli gas melebihi budget yang biasa merek sisihkan untuk minyak tanah. Kalau mereka biasa membeli seharga sepuluh ribu selama seminggu, maka mereka juga berharap bisa membeli gas dengan harga tersebut, berapa pun ukurannya. Apalagi bagi konsumen yang income-nya mingguan atau harian, mereka tidak bisa membeli kalau menggeser pendapatan yang sebulan ke depan. Meskipun, jika dihitung-hitung, mereka bisa lebih untung.
Mungkin pemerintah bisa belajar dari para pemasar produk fast moving consumer goods. Mereka senang membuat paket-paket ekonomis agar bisa dijangkau oleh konsumen. Konsumen tidak peduli isinya lebih sedikit, atau ukurannya diperkecil, yang penting mereka bisa membelinya saat ini.
Jadi, kalau pemerintah menggembar-gemborkan gas lebih murah, ide itu masih belum masuk di akal mereka. Bagaimana bisa lebih murah, jika mereka harus membayar jauh lebih mahal, sekalipun setelah itu (selama sebulan) mereka tidak perlu membayar lagi?
Pesan dari ini semua sederhana saja, pemerintah harus punya strategi dan kalkulasi pemasaran, sekalipun produknya mungkin bernafaskan sosial. Nah, untuk itu dibutuhkan upaya untuk memahami perilaku konsumen dengan baik. Bagaimana?
sumber: www.marketing.co.id

Thursday, July 12, 2012

Global Internet Ad Spend Sees Double-Digit Growth, Outpaces Other Media


With consumer confidence up and brands looking to reconnect, spending on advertising is on the rise—around the globe and across media types. TV, newspapers, radio, outdoor, Internet, and cinema all saw an increase in ad spend in the beginning of 2012 compared to last year, according to Nielsen’s quarterly Global AdView Pulse report. Though TV continues to attract the majority of advertising dollars, Internet advertising saw the biggest increases, with advertisers spending 12.1 percent more in Q1 2012 than one year prior. During that time, ad spend overall increased 3.1 percent globally.
Nielsen-Global-AdView-Pulse-By-Media-Q1-2012
Across the regions, the findings are markedly different as each media has taken root and evolved uniquely.
Television
Dollars devoted to TV advertising grew 4 percent in North America, second only to outdoor, and 7.5 percent in Latin America. In the Middle East and Africa, TV ad spend grew a whopping 33.8 percent.
Internet
Online ad spend was a bright spot for the industry, with growth around the globe. Growth was particularly notable in Europe (12.1%), Latin America (31.8%) and the Middle East & Africa (35.2%).
Print (Magazines and Newspapers)
Magazines saw a minor decline compared to last year, but newspapers grew 3.1 percent. In Latin America and Asia Pacific, both media grew—7.6 percent and 10.3 percent, respectively in Latin America, and 3.6 percent and 5.4 percent, respectively in Asia Pacific. North America saw nominal declines in print ad spend.
Radio
Radio saw increases in every region around the globe, including a 2.6 percent increase in North America and 2.8 percent in Europe. In emerging markets in Latin America and Middle East and Africa, those increases were much higher. Radio grew 18 percent in Latin America and 21.1 percent in the Middle East and Africa.
Cinema
In Asia Pacific, cinema grew 27.1 percent, offsetting the declines seen in Latin America and the Middle East and Africa.
Outdoor
Still a nascent industry, outdoor is growing rapidly. In the past quarter, outdoor ad spend increased 6.4 percent globally. This included gains of 4.4 percent in North America, 45.3 percent in the Middle East and Africa and 21.1 percent in Asia Pacific. Only Europe experienced a decline (1.2%).
Nielsen-Global-AdView-Pulse-regions-media-Q1-2012

http://blog.nielsen.com/nielsenwire/global/global-internet-ad-spend-sees-double-digit-growth-outpaces-other-media/

Monday, July 9, 2012

Indonesia Peringkat ke Lima Dunia dalam Pertumbuhan Pengguna Facebook


 Brazil sedang dilanda ‘demam Facebook’ dengan berada di posisi puncak daftar negara yang mengalami pertumbuhan pengguna Facebook terbesar di dunia. Daftar tersebut dirilis oleh Socialbakers, mengacu pada statistik pengguna Facebook sepanjang semester awal 2012 (Januari – Juni).
Brazil mendapatkan lebih dari 16 juta pengguna sepanjang enam bulan awal di tahun 2012. Secara keseluruhan, negara yang dikenal dengan prestasinya sepakbola-nya itu memiliki 51.172.180 Facebook users. Angka pertumbuhan yang dicapai Brazil jauh meninggalkan negara lain, yang terdekat adalah India dengan perolehan lebih dari 8 juta penggua –setengah dari yang diraih Brazil.
  
Dari daftar itu nampak bahwa beberapa negara sudah melewati masa ‘demam Facebook’. Semisal Amerika Serikat yang tidak masuk dalam daftar tersebut, padahal negeri 'Paman Sam' itu dikenal sebagai negara dengan jumlah pengguna Facebook terbesar di dunia. 
Bagaimana dengan Indonesia? Sepertinya Indonesia juga telah melewati masa ‘demam Facebook’. Pertumbuhan pengguna Facebook di negara ini tak lagi se-istimewa beberapa tahun silam. Dalam daftar ini Indonesia hanya berada di urutan kelima, dengan angka pertumbuhan di atas 2 juta. Bahkan sebelumnya Indonesia juga kehilangan kehilangan 1,2 Juta akun.
Negara-negara Asia juga terlihat mendominasi pertumbuhan Facebook. Ini juga sejalan dengan data terdahulu milik Socialbakers yang menyebut Asia sebagai benua dengan pengguna Facebook terbesar.
Sumber foto: mashable.com

Friday, July 6, 2012

Tweeps Indonesia Paling Doyan Berkicau se-Asia


Wanna tweet Menurut penelitian Mark Graham dari Oxford Internet Institute, Amerika Serikat merupakan produsen kicauan (tweets) terbesar di dunia, mencapai 30% dari keseluruhan kicauan yang terkumpul sejak 5-13 Maret 2012. Penelitian ini dipublikasikan 19 Juni 2012 yang lalu.
Penelitian ini mengacu pada kicauan yang mengaktifkan informasi lokasi di akunnya, sehingga mungkin masih banyak kicauan yang terlewat. Begitu pula banyak akun yang mengaktifkan lokasi tetapi tidak sesuai dengan domisilinya, sehingga bisa mempengaruhi kesahihan hasil penelitian ini.
Hasil penelitian yang dirilis dengan judul A Geography of Twitter ini diambil dari 20% sampel acak dari kicauan di seluruh dunia, dalam periode waktu tersebut.
Indonesia, tampak di peta hasil penelitian ini sebagai produsen kicauan terbesar di kawasan Asia dan Australia. Saingan terbesarnya adalah Malaysia. Inggris Raya menjadi yang terbanyak berkicau se Eropa, dan Brasil terbesar di kawasan Amerika Selatan. Amerika Serikat (AS), tampak mendominasi peta, menjadi yang terbanyak berkicau di kawasan Amerika Utara, sekaligus terbanyak di seluruh dunia.
A Geography of Twitter
A Geography of Twitter via Oxford Internet Institute
Jika diurutkan, penghasil kicauan di Twitter terbesar di dunia adalah: (1) Amerika Serikat, (2) Brasil, (3) Indonesia, (4) Inggris Raya, (5) Meksiko, dan (6) Malaysia. Data ini hampir sama dengan jumlah pengguna Twitter terbesar di dunia yang dirilis frogdesign.com secara real time. Dalam daftar tersebut, Indonesia berada di urutan ketiga di bawah Amerika Serikat, dan Brasil.
Di ulang tahunnya yang ke-enam Maret lalu, Twitter menyatakan ada sekitar 140 juta akun Twitter aktif dari seluruh dunia, dan menghasilkan 340 juta kicauan per harinya.
A world of tweet - frogdesign.com
*Gambar ilustrasi: dryicons.com

Wednesday, July 4, 2012

Segmentasi Anak Muda Indonesia berdasarkan Spending Behavior


tabel mainstory rev1 Segmentasi Anak Muda Indonesia Berdasarkan Spending BehaviorGambar di atas merupakan peta segmentasi anak muda Indonesia masa kini, jika dilihat dari spending behavior mereka. Terlihat jelas bahwa mayoritas konsumen anak muda di kota urban Indonesia cenderung lebih terencana dan smart dari segi perilaku pengeluaran mereka. Dari hasil riset yang dilakukan MarkPlus Insight ini, mereka yang planned-smart jumlahnya ada sebesar 51.1%.
Kami menyebutnya Bargain Hunter, atau mereka yang cenderung terorganisir dan terencana dalam mengatur pos-pos pengeluaran sebelum melakukan pembelian suatu produk atau jasa. Saat pengeluaran akan dilakukan, mereka cenderung untuk mengumpulkan sebanyak mungkin informasi, demi mendapatkan produk yang terbaik dengan harga termurah.
Mereka adalah kebalikannya impulsive-simple yang jumlahnya cukup banyak yaitu sebesar 28,3%. Segmen ini merupakan kalangan anak muda yang lebih mengarah ke shopaholic. Anak muda ini mudah sekali tergoda untuk melakukan pengeluaran kepada produk-produk yang menarik perhatiannya, bahkan untuk produk yang sebetulnya tidak mereka dibutuhkan. Anak muda di segmen ini tidak memiliki perencanaan pengeluaran yang baik. Mereka ini yang kami sebut segmen Retail Victim.
Mereka yang impulsif ini tidak semuanya ingin ribet. Ada juga konsumen muda yang impulsive-smart. Kami menyebutnya Emotional Saver. Anak muda yang berada di segment ini mudah tergoda untuk membeli barang-barang yang tidak direncanakan sebelumnya. Namun bedanya dengan Retail VictimEmotional Saver cenderung meluangkan waktu dan tenaga ekstra sebelum membeli, guna mendapatkan harga yang lebih murah atau mendapatkan barang yang lebih baik. 10.3% konsumen anak muda di Indonesia memiliki perilaku pengeluaran seperti ini,
Lawan dari Emotional Saver ini adalah Lazy Shopper. Mereka adalah anak muda yang terorganisir, spending hanya dilakukan sesuai dengan rencana-rencana yang dibuat sebelumnya. Saat jadwal pengeluaran sudah jatuh tempo sesuai dengan rencana yang dibuat, mereka jarang sekali meluangkan waktu dan tenaga extra, untuk mendapatkan barang termurah atau alternative yang lebih baik. 10,3% anak muda Indonesia memiliki perilaku pengeluaran sepertiLazy Shopper ini.

Monday, July 2, 2012

Indonesia Negara Pengguna Facebook Terbesar Kedua di Asia


 Indonesia merupakan negara dengan pengguna Facebook terbesar kedua di benua Asia. Indonesia memiliki 43 juta pengguna  Facebook. Angka tersebut hanya kalah dari India yang mempunyai 49 juta akun Facebook. Hal di atas terungkap dalam daftar pengguna Facebook di negara-negara Asia yang dirilis oleh situs Socialbakers.
Bulan April silam, artikel Salingsilang.com berjudul “Digeser Brasil, Indonesia Jadi Pengguna Facebook Terbanyak Ke-4 di Dunia” –yang juga merujuk pada laporan Socialbakers— menyebutkan bahwa Indonesia  memiliki 42 juta pengguna Facebook. Merujuk pada data-data ini, dalam kurun waktu dua bulan belakangan telah terjadi peningkatan sebesar 1 juta pengguna Facebook di Indonesia.
Dari daftar jumlah pengguna Facebook di negara-negara Asia, terlihat bahwa situs ‘buku-muka’ tersebut sangat populer di kawasan Asia Tenggara.  Indonesia, Filipina, Thailand, Malaysia dan Vietnam adalah lima negara Asia Tenggara yang masuk dalam sepuluh besar daftar tersebut.
Dijelaskan juga dalam laporan Socialbaker tersebut bahwa  Asia menempati peringkat kedua sebagai benua dengan pengguna Facebook terbesar. Saat ini Asia memiliki lebih dari 229 jutaFacebook users. Angka tersebut hanya kalah dari benua Eropa yang mempunyai pengguna Facebook di atas angka 234 juta.
Pada 18 Juni 2012 Socialbakers juga sempat memuat laporan serupa, dalam pemaparan awal tersebut Asia masih ketinggalan dengan Amerika Utara. Hal tersebut berbalik pada rilis terbaru sepuluh hari kemudian (28 Juni 2012).
Pada rilis terbaru ini Asia mendapatkan kenaikan sekitar 5 juta pengguna, sementara Amerika Utara malah kehilangan sekitar 1 juta pengguna Facebook. Berikut daftar benua dengan pengguna Facebook terbesar:
*) data dirilis 28 Juni 2012
*) data dirilis 18 Juni 2012
Sumber foto: emergingmarketsblog.files.wordpress.com